Bota Bujak

Bota Bujak
Ataili, kampung kecil, unik, menyimpan banyak misteri. Kekayaan warisan budaya, adat istiadat didaur ulang sehingga menjadi ramuan yang berguna demi kehidupan bersama. Ola glekat lewotana adalah kewajiban setiap anak tanah. Kritik sosial penting untuk membangun kehidupan bersama yang lebih baik dalam era arus globalisasi. Tulis apa adanya, jangan menipu (bahasa lokal: akalbae).

May 21, 2013

"SIGI KNIRI", DALAM HUBUNGANNYA DENGAN ADAT DAN AJARAN YESUS


Dalam bahasa daerah Ataili, kata “sigi kniri” adalah  kiasan. Kiasan ini mau mengatakan kepada orang lain yang masih menyimpan kesalahan  orang lain. Sewaktu-waktu dia akan mengungkit kembali kesalahan tersebut untuk membela diri. Dalam arti tersebut orang yang sigi kniri tetap menyimpan dendam terhadap orang lain.

SIGI KNIRI DALAM ADAT PERKAWINAN

Adat perkawinan orang Ataili diselesaikan dalam  beberapa tahap.

1.     Pertama, orang Ataili menyebutnya “PANA LALA” . Tahap ini beberapa wakil dari pihak laki-laki yang diketuai oleh mediator jalan menuju rumah pihak perempuan untuk menyampaikan maksud bahwa anak laki-lakinya ingin melamar anak gadis mereka.
2.     Jika pihak perempuan setujuh maka akan ada tahap kedua yaitu “adat pawa malu”.  Adat saling memberi siri pinang, koli tembakau.
3.     Tahap ketiga adalah tahap terbesar yaitu “adat Pawa Elu” (adat makan daging)
4.     Setelah tahap ini baru bisa menikah resmi di gereja Katolik
5.     Setelah Menikah ada adat “antar bine dan liwu gili”
Dalam perjalanan waktu beberapa tahap di atas, hubungan antar pihak perempuan disebut “Opun” dan pihak laki-laki disebut “makin” dijaga dengan baik. Makin, pihak laki-laki harus menghormati opun, pihak perempuan. Diharapkan agar tak ada kata-kata kotor, dan juga perbuatan tidak baik  dari pihak makin terhadap pihak opun. Jika ada kata-kata yang kurang baik disampaikan kepada pihak perempuan (opun) maka mereka akan “sigi kniri”. Kata-kata ini dipakai untuk menuntut adat tambahan pada pihak laki-laki (makin). Sigi Kniri dalam adat perkawinan memang penting dan baik untuk menjaga keharmonisan antar kedua belah pihak. Dan lebih penting dari itu adalah kedua belah pihak saling menghormati, menghargai lebih daripada orang lain.

SIGI KNIRI DALAM ARTI UMUM DAN HUBUNGANNYA DENGAN AJARAN YESUS

Sigi Kniri kemudian dipakai secara umum, tidak dalam hubungannya dengan adat perkawinan. Orang memanfaatkan kesalahan orang untuk menuntut “sigi kniri”. Orang yang selalu memanfaatkan kesempatan sigi kniri adalah orang yang menutup diri dengan kemajuan. Peradapan semakin modern, dunia semakin dipersempit dengan teknologi internet  sementara kita masih bergelut dengan sigi kniri maka kita akan kehilangan kesempatan. Kniringa harus diramu sehingga mengasilkan sebuah energi baru untuk mengubah hidup. Kniringa tidak semata-mata kata-kata buruk melainkan ada sebuah kritikan membangun.
Saya teringat seorang kakek mengatakan begini:  “Tua meli no kniringa ro alus, pas teka la orega tali la mojip goe” artinya: pastor itu berkotbah dengan kata2 yang bagus menyentuh hati saya, sesuai dengan hidup saya. Jadi kniringa belum tentu jelek. Kniringa harus diramu kembali. Ketika orang tidak meramunya tetapi memanfaatkan sigi kniri maka ia telah menutup diri dengan sebuah perubahan. Sigi kniri, oresa ro golo, tidak menghasilkan sesuatu yang baru dalam hidup. Orang Ataili modern tak perlu bergelut dengan sigi kniri.
Ajaran Yesus mengatakan bahwa kita harus mengampuni bukan tujuh kali melainkan tujuh puluh kali tujuh kali, artinya tanpa batas. Jika kamu menghantar persembahan dan teringat bahwa ada masalah dengan orang lain maka, tinggalkanlah persembahan dan pergilah dahulu berdamai  dengan orang itu dan kemudian menghatar persembahan. Janganlah membalas kejahatan dengan kejahatan tetapi ampunilah mereka dan berdoalah kepada mereka yang menganiaya kamu. Dengan demikian maka “sigi kniri” tidak menjadi momentun untuk membalas kejahatan dengan kejahatan. 

May 13, 2013

‘ELUT” WARISAN PALING BERHARGA DALAM TRADISI ORANG ATAILI


Elut sama dengan Batu asa. Batu alam yang gunakan untuk mengasa parang. Elut adalah jenis batu asa yang tidak dijual di pasar swalayan. Benda yang namanya elut adalah wariskan turun temurun. Elut sangat penting dalam dunia pertanian di Ataili. Menurut tradisi, orang yang tidak memiliki elut adalah orang pemalas pemokol.  Elut bagus, parang tajam, kerja semangat, banyak dapat padi dan jagung. Ya itulah namanya tradisi. Sekarang mungkin elut kurang berfungsi karena banyak orang  menjadi pegawai negeri. Mereka  kurang memperhatikan pentingnya elut. Kata orang tua, mereka yang mendapat titel pegawai negeri, bulpoint mejadi elutnya. Bulpoint selalu ada di dalam sakunya sebagai pengganti elut. Bulpoint bisa disebut elut tetapi bukan elut yang sesungguhya karena jabatan itu tak bisa diwariskan.
Ada arti kiasan yang mendalam dalam bahasa daerah Ataili: “ake ama no elut”…Ini mau megatakan bahwa saya tidak akan mempertahankan sebuah jabatan karena bukan elut warisan nenek moyang. Memang jabatan apapun di bumi ini  bukan sebuah warisan. Misalnya seorang ketua RT tak bisa mewariskan jabatan itu  kepada anaknya karena jabatan ketua RT bukan elut yang bisa diwariskan.
Elut memiliki nilai sacral dan magis. Jika warisan elut berasal dari orang tua, nenek moyang yang rajin bekerja, maka anak-anaknya berebut memiliki elut tersebut. Elut akan membawa rejeki yang banyak pada orang yang mewarisinya. Jenis elut ini akan disimpan dengan baik, berusaha agar tidak hilang, menggunakan dengan hati-hati agar elut tidak pecah. Sampai sekarang masih ada banyak elut kuno yang diwariskan turun temurun. Elut-elut ini memiliki nilai sacral. Setiap tahun ada upacara makan jagung, elut-elut itu diperciki dengan darah ayam. Maksudnya supaya elut-elut itu tetap memiliki daya magis. Tahun berikutnya, panen berhasil, banyak padi dan jagung. Jika anda ingin melihat elut-elut ini datang saja ke Ataili, Lembata, Indonesia.


May 12, 2013

“ALAPSA” KONSEP TUHAN MENURUT ORANG ATAILI


Semua agama besar di dunia muncul di Asia kemudian dibawah ke Eropah dan berkembang di sana. Asia merupakan gudang tempat persemaian religiositas rakyat. Hampir semua daerah memiliki konsep tentang Tuhan. Sederhana, tidak ilmiah tetapi mereka memiliki konsep ini sesuai tingkat pengetahuannya sebelum agama- agama besar muncul dipermukaan bumi ini. Mereka tidak belajar teologi (ilmu tentang Tuhan) tetapi mereka memiliki konsep tentang Tuhan.  Kalimantan Barat mengenal  dengan beberpa nama seperti: Jubata, Tompa, Ake Penompa, dll.
Orang Ataili mengenal Tuhan dengan nama “Lera Wulan Tanah Ekan” Nama ini dikenal seluruh masyarakat Flores Timur termasuk Solor ,Adonara dan Lembata. Saya memunculkan nama baru yaitu “ALAPSA”. Kata ini seringkali keluar dari mulut orang Ataili yaitu “ALAPSA”. Kata alapsa artinya Saya adalah milik dari Yang Maha Kuasa (Tuhan). Kata alapsa adalah kata ganti orang pertama untuk “TUHAN”. Misalnya: Tite mesti peten no alapsa: artinya kita harus ingat dengan yang Mahakuasa yang telah menciptakan kita. Alapsa dalam konteks kalimat di atas adalah Tuhan. Mo mai sekolah  doa-doa atau mo mlaratu doa-doa ara mo mesti peten no alapsa. Artinya engkau pergi sekolah jauh-jauh atau merantau jauh-jauh tetapi kamu harus ingat dengan Tuhan, berdoa kepada Tuhan. Kata alapsa dalam konteks kalimat di atas adalah “Tuhan”.
Jadi “APALSA” menurut orang Ataili adalah Tuhan.
Kata alapsa memiliki arti yang lebih mendalam dari hanya sekedar Tuhan. Bahwa Tuhan yang dimaksud adalah “sumber, asal dan tujuan hidup manusia”. Menyebut Alapsa langsung orang Ataili tersentuh hatinya. Pikiran mereka akan tersentuh bahwa “alapsa” adalah orang yang menciptakan saya, memelihara saya, memberi rejeki kepada saya,menciptakan segala sesuatu di bumi ini maka patutlah saya bersyukur dan memuji Dia. Ini adalah konsep Tuhan menurut Orang Ataili. Kata Alapsa dipakai sampai sekarang. Menyebut alapsa seolah-olah lebih tinggi nilai rasa dari pada menyebut Tuhan dalam bahasa Indonesia.
Teologi Alapsa bukan  menciptakan Tuhan yang baru melainkan Tuhan yang sama dengan nama berbeda dalam bahasa daerah. Siapapun orang Ataili bisa mengembangankan lebih lanjut mengenai “Teologi Alapsa”. Semua teologi harus kontekstual sehingga mudah dipahami  semua orang sesuai dengan budayanya.

May 9, 2013

GILING, TEMPAT SIRI PINANG DAN KOLI TEMBAKAU


Orang Ataili, di Lembata,  memiliki  budaya “Giling”. Giling yang dimaksudkan adalah pertama, tempat  Siri Pinang  diperuntukkan kaum perempuan dan yang kedua, adalah tempat koli tembakau diperuntukkan kaum laki-laki. Tempat yang berbeda dengan nama yang sama yakni “Giling”. Giling memiliki arti budaya dan adat istiadat yang sangat vital. Persaudaraan, keakraban akan terjalin dengan  baik bermula dari  “GILING”. Anda akan menemukan sahabat baru berawal dari “giling”. Giling anda terbuka untuk orang lain maka anda akan dihargai dan dihormati  orang lain. Jika Giling anda tertutup maka  hidup anda akan tertutup dengan orang lain. Ini adalah budaya, warisan nenek moyang orang Ataili. Menurut kebiasaan orang Ataili, siapapun yang lewat akan disapa dengan sopan dalam bahasa daerah “mene ma ga mo malu lolo si artinya Mari makan siri dulu”. Sapaan dari kaum perempuan dan “mene ma golo mo tebako tu” artinya: mari isap dulu sebatang roko koli” sapaan halus dari seorang laki-laki. Apakah nanti ada minum tuak, dan makan-makan, itu soal lain tetapi ini adalah sapaan awal dengan membuka giling. Giling memberi arti sebuah persahbatan yang sejati.
Giling memiliki arti adat istiadat yang luas. Pertama, jika seorang laki-laki melamar seorang gadis maka dalam adat orang Ataili, dimulai dengan “pawa Malu”. Keluarga besar kedua belah pihak membuka acara perkenalan yang ditandai dengan membuka giling. Mereka saling  memberi siri pinang dan koli tembakau.  Giling menjadi sangat penting dalam adat perkawinan. Kedua, dalam adat perkawinan, laki-laki harus mengisi giling ibu dari perempuan yang hendak dinikahi dengan uang yang telah ditentukan. Ini adalah kewajiban dari pihak laki-laki sebagai pengganti air susu mama. Sekali lagi “giling” memiliki arti dan nilai yang sangat besar.  Begitulah “giling” dalam tradisi, adat istiadat orang Ataili…..


May 5, 2013

VIDEO TEOLOGI LAGU PERSEMBAHAN ORANG ATAILI


Orang Ataili adalah orang kampung dan mereka tak pernah belajar teologi (ilmu tentang Tuhan). Meskipun tidak belajar teologi tetapi mereka memiliki ungkapan-ungkapan mendalam tentang Tuhan yang dituangkan dalam syair-syair lagu rohani daerah. Salah satunya adalah diungkapkan dalam video lagu persembahan di bahwa ini.

1.     Mereka memanggil Tuhan dengan Ama Nimun.  Kata “Ama” adalah panggilan halus dan familiar yang dikenakan pada Tuhan. Sama halnya dengan bapa diganti menjadi ABBA menurut orang Yahudi. Panggilan “ama nimun” dikenakan pada Tuhan dirasakan punya kedekatan batin yang paling mendalam bila bandingkan dengan kata “bapa” dalam bahasa Indonesia.  Kedekatan ini bisa disejajarkan dengan kata –kata Yesus “saya tidak memanggil kamu hamba melainkan sahabat karena hamba tidak tahu apa yang diperbuat oleh Tuhan sedangkan sahabat tahu akan segala sesuatu. Apa yang saya terima dari Bapa saya sampaikan kepadamu. Tidak ada yang tersembunyi.
2.     “Ama teti kowa lolon lodo hau tulun kame hode kurban ana moe”. Orang Ataili mengungkapkan kurban persembahan sama dengan Yesus sebagai korban persembahan untuk penyilih dosa kita.  Korban persembahan seperti yang dimaksud adalah hasil-hasil seperti tuak, ayam, uang, ubi kayu, dan lain-lain. Mereka ungkapkan sebagai korban persembahan seperti korban persembahan Kain dan Habel.
3.     Satu hal lagi yang menarik dalam teologi mereka adalah ungkapan kerendahan hati, menyadari sebagai orang berdosa di hadapan Tuhan dan mempersembahan korban penyilih dosa.
Semuanya bisa dinikmati dalam video lagu persembahan ini. Clip ini diambil pada misa untuk LEWOTANAH. SELAMAT MENIKMATI