Kata “Nubar” tidak memiliki
arti apapun dalam semua bahasa. Ini
adalah sebuah batu keramat di desa
Ataili, Lembata, Indonesia. Batu
tersebut diberi nama Nubar. Persoalannya bahwa tempat yang disebut “nubar,
Nuba nara” hampir merata ada di semua kampung di wilayah orang
Lamaholot. Mereka menggunakan nama yang hampir sama yakni “nubar, nuba nara”. Dari
manakah asal usul batu –batu tersebut dan apa fungsinya, saya kira
masing-masing kampung memiliki sejarahnya masing-masing. Kami hanya memberi
beberapa penjelasan mengenai Nubar milik nenek moyang orang Ataili. Dengan demikian
warisan sejarah Nubar dapat dikisahkan kembali turun temurun.
Menurut penuturan nenek Ose, orang yang sekarang tertua di
kampung Ataili bahwa batu itu berasal dari Tanjung Atadei. Batu itu sangat besar
sehingga orang tak mampu membawahnya. Para tetua zaman dahulu memiliki kekuatan gaib yakni
mampu menyuruh batu itu berjalan sendiri. Mungkin ini aneh bahkan mustahil
tetapi bagi mereka ini adalah sesuatu yang sangat mungkin demikian kata nenek Ose. Mereka menghantar batu dari
Tanjung Atadei menuju kampung lama Ataili dengan nyanyian tradisonal (urulele).
Sementara di kampung, orang sedang menyanyi dan menari menunggu kedatangan batu
tersebut. Anehnya bahwa batu itu berjalan dalam tanah sementara pengantar berjalan
di atas tanah. Mereka tahu bahwa batu itu sedang berjalan, mereka tahu bahwa
batu itu lelah berjalan kemudian mereka
harus istirahat menunggu. Akhirnya sore hari merekapun tiba di kampung Ataili
tetapi batu tersebut belum muncul di atas permukaan tanah.
Semalam suntuk mereka mengadakan pemujaan dengan
menyanyi dan manari dalam bahasa daerah disebut
“tula nama, urulele”. Selain itu, mereka mengadakan pesta sekaligus
memberi sesaji, memohon agar batu tersebut muncul keesokan harinya. Di luar
dugaan akal sehat manusia, keinginan masyarakat tercapai yakni menjelang siang,
batu itupun tumbuh tinggi melebihi permukaan tanah. Mereka yakin bahwa batu
tersebut memiliki kekuatan gaib yang patut disembah. Sejak saat itu, batu tersebut menjadi tempat pemujaan dengan
nama “Nubar”. Sekali setahun masyarakat berkumpul untuk mengadakan
pemujaan dengan memberi sesaji pada
Nubar. Mereka tidak memiliki susunan ritus pemujaan tetapi hanya memohon berkat
dari Nubar dengan menggunakan syair-syair daerah. Misalnya memohon supaya angin
ribut berhenti inti syairnya sebagai berikut: Mai tokogu lau ari lewa, mai
buletu jae kebo pola.
Jika mereka meminta supaya tahun ini panen padi
dan jagung melimpah inti syairnya sebagai berikut: Breka tanah kama paraw nuja golu,
boi koja
Selain Nubar, pada keempat penjuru kampung,
mereka menanam pohon beringin dan kemudian memberi namanya masing-masing. Satu
lagi pohon beringin di tanam sebelum pintu gerbang masuk kampung. Nama-nama
pohon beringin sebagai berikut:
1. Lein lali kia Satel artinya bagian selatan
namanya Kia Satel
2. Wanan weli Sobaratu: artinya bagian kanan/
bagian Barat namanya Sobaratu
3. Seken weli Kae Ali artinya bagian kiri/bagian
timur namanya Kae Ali
4. Weran teti Malakalu artinya bagian utara
namanya Malakalu
5. Wutun lali Adowajo artinya bagian ujung
pintu masuk kampung namanya Adowajo
6. Inaga mio Jawa Lepa artinya ibuku Jawa
Lepa. Nama Ibuku Jawa Lepa itulah Nubar yang ditempatkan di tengah Kampung.
Pohon-pohon beringin ditempatkan dengan namanya masing-masing berfungsi
sebagai tentara, pelindung kampung. Nama-nama tersebut di atas adalah nama-nama
panglima perang yang tak terkalahkan. Mereka memiliki kekebalan tubuh yang
disebut dengan “kebel alap”. Tak
terhitung lagi kepala manusia tersimpan sampai sekarang. Selama perang Paji dan demong, selama perang
dengan penjajah belanda maupun jepang, Kampung Ataili selalu selamat.
Sisi Gelap Inkulturatip
1.
Pertama, Beberapa tempat lain menganggap Nubar, Nuba Nara sebagai
“wujud Yang Tertinggi” sedangkan orang
Ataili sulit mengatakan bahwa Nubar
adalah wujud tertinggi, asal mula segala sesuatu yang ada. Nubar hanya
sebuah tempat pemujaan untuk meminta rejeki. Nubar ada sesudah manusia ada. Hanya
mungkin mereka memiliki kayakinan bahwa batu tersebut memiliki kekuatan gaib.
Mereka boleh meminta apa saja sesuai dengan keinginan mereka. Ini adalah salah satu
bentuk regiositas rakyat.
2.
Kedua, Nubar diberi nama seorang
perempuan yakni “inaga Jawa Lepa”. Kata
Inaga artinya ibuku dan itu jelas merujuk pada seorang perempuan. Dalam tradisi
gereja Katolik memang sulit menentukan
Tuhan itu seorang laki-laki atau seorang perempuan. Hanya bisa kita buat
penafsiran bahwa Tuhan itu seorang laki-laki. Yesus mengajarkan doa : “Bapa
kami yang ada di Surga”.... Kata “bapa” jelas merujuk pada seorang laki-laki.
Oleh karena itu sulit mengatakan bahwa “Nubar” adalah Tuhannya orang Ataili
sebelum agama Kristen Katolik.
3.
Ketiga, mengapa mereka memberi
nama seorang ibu pada Nubar? Dalam tradisi orang Ataili, ibu sangat penting
dalam memberi makan dan minum kepada anak-anaknya terutama menyusu anak-anaknya. Kebaikan hati seorang ibu
inilah yang meyakinkan mereka bahwa dengan memberi nama seorang ibu, rejeki yang diminta senantiasa
dikabulkan. Nubar adalah seorang ibu
yang selalu memberi rejeki kepada mereka.
Ibu yang baik hati. Apakah Nubar
bisa disejajarkan dengan Bunda Maria? Dalam tradisi gereja Katolik, Bunda Maria
sangat dihormati. Banyak orang memiliki pengalaman indah bersama Bunda Maria. Bunda Maria adalah Ibu Gereja
yang selalu setia menghantar doa-doa kita kepada Bapa melalui Puteranya Yesus
Kristus. Bunda Maria adalah mediator. Saya kira Nubar Jawa Lepa adalah
bukan Tuhan melainkan mediator antara
orang Ataili kuno dengan sang wujud tertinggi. Jadi Nubar bukan sosok wujud
tertinggi. Persoalannya: Apakah Nubar bisa diganti dengan sosok patung bunda
Maria? Ada kedekatan antara sosok bunda Maria dengan sosok Nubar dalam tradisi
orang Ataili kuno. Meskipun demikian
tetap ada sisi gelap karena Nubar bukanlah sosok turunan dari wujud yang
tertinggi.
4.
Keempat, sulit mengatakan bahwa kelima
orang panglima perang yang ditempatkan sekeliling kampung dalam wujud pohon
beringin disamakan dengan Malaikat pelindung. Dalam tradisi Gereja Katolik kita
hanya mengenal 3 orang Malaikat Agung yaitu, Gabriel, Mikael dan Rafael.
Para Malaikat agung dan panglima perang dalam tradisi orang Ataili Kuno
memiliki tugas yang sama yakni melindungi orang agar selamat dari ancaman
bahaya.
Setelah Agama Katolik menyebar sampai ke pelosok-pelosok daerah, banyak
simbol regiositas rakyat dimusnahkan. Ketika itu gereja Katolik belum memulai
inkulturasi yang sesungguhnya. Nubar milik orang Atailipun dibongkar. Beberapa benda-beda bersejarah
seperti kumbang keramat, tombak keramat milik Suku Bakior dibawa ke Lamalera
oleh Pastor Kaut. Kami hanya berharap masih tersimpan di Paroki Lamalera. Yang
masih tertinggal adalah Nubar meskipun tidak pada posisinya dan sekarang kelima
pohon beringin masih hidup. Sulit mengukur berapa umur pohon beringin ini.
Hanya para ahli bisa mengukurnya.
Hal ini sangat berbeda dengan apa yang terjadi di Larantuka yakni
proses inkulturasi sudah berjalan meskipun belum sepenuhnya. Tahun 1938 P.
Clouters memindahkan Nuba Nara/ sebuah
batu besar dari tempat asalnya kemudian di tanam dibawah altar gereja
Nawokotek, Larantuka. Selama 61 tahun
mayarakat meyakini bahwa di bawah altar terdapat Nuba Nara Milik mereka. Karena
gereja tersebut rusak dan tidak terpakai lagi maka tahun 1999 P. Matheus Bala, SVD bersama masyarakat menggali kembali Nuba Nara
tersebut. Masyarakat ingin mengembalikan situs bersejarah Nuba Nara ke tempat
asalnya untuk melanggengkan warisan tradisi adat istiadat nenek moyang mereka.
Mereka membuat ritus pemindahan dengan tarian dan nyanyian daerah. Nuba nara
tersebut dimandikan dengan darah binatang korban persembahan untuk
mengembalikan kekuatan magisnya seperti semula. Proses pemindahan ini sempat
membuat geger pihak Vatikan padahal beberapa pihak mengatakan bahwa proses
pemindahan ini hanya semata-mata karena usaha pariwisata daerah. (bdk. Actualité des Religions, Paris, February, p.7
dalam Atila Sinke Guimarães, Bird’s Eye
View of the News bdk. Juga UCANEWS: FLORES PARISH RETURNS ALTAR OF
LOCAL RELIGION, December 03 1999)
Di Kampus Atmajaya pernah diadakan seminar
tentang Lamaholot dengan menghadirkan beberapa pembicara asal Flores Timur
seperti: Max Boli Sabon dosen Atmajaya, Yohanes Suban Tukan, aktivis gereja di
Keuskupan Agung Jakarta dan Kahadji Kalake pembicara Muslim. Persoalan utama
adalah Dualisme regiositas masyarakat Lamaholot. Meskipun gereja Katolik telah
berakar kurang lebih 300 tahun dan sekitar 80%
masyarakat Lamaholot beragama Katolik tetapi Konsep Lewo Tanah yang bersumber pada Nuba
Nara tetap melekat dan justru keterikatan kekrabatan lebih kental dibanding
dengan keterikatan sebagai orang Katolik. (Ucanews, DUAL RELIGIOSITY PREVAILS AMONG EAST FLORINESE
CATHOLIC 24 Februari 1993)
Kesimpulan seminar itu mengingatkan
pengalaman saya mengenai dualisme dalam kehidupan religiositas rakyat Ataili
khususnya dan masyarakat Lamaholot umumnya. Tentang dualisme ini akan kami diuraikan
pada bagian “Lewotanah dan Liri Wanan”