“Smei
tongawa” adalah frase dalam bahasa daerah Ataili untuk
memberitahu kutukan kepada orang yang telah membunuh sesama. Smei tongawa
artinya juga kutukan kepada seorang pembunuh. Darah itu akan terus memanggil dan mengutuk. Dalam
kitab Kejadian, Kain membunuh Abel dihukum sampai tujuh turunan Kej, 4:15 dan
darah itu akan berteriak dari tanah, bdk. Kej: 4:10. “Smei tongawa” dalam tradisi leluhur paralel dengan kisah Kain dan Abel dalam
Kitab Kejadian di atas, maka tragedi
Wulandoni perlu dilihat dari sisi tradisi para leluhur untuk menyelesaikan konflik.
Penandatangan surat
penyataan perdamaian, pembuatan monumen perdamaian tidak disertai dengan
seremoni menurut tradisi leluhur tidak akan menyelesaikan masalah sampai ke
akar-akarnya. “Smei tongawa” dalam tradisi leluhur akan terus berteriak dan
meminta darah. Mungkin ini pemikiran sangat kuno dan tak sepadan dengan
kehidupan modern sehingga hal –hal seperti ini dianggap sebuah lelucon. Apakah “smei tongawa” adalah sebuah lelucon?
Saya kira tidak. Orang Lembata masih memiliki tradisi kuat mengenai smei
tongawa. Smei tongawa adalah beban moril seumur hidup. Seremoni perdamaian menurut
tata cara leluhur adalah cara terbaik untuk meringankan beban moril seumur
hidup atas kutukan smei tongawa.
Pemerintah Lembata harus
memberi ruang kepada kedua desa yaitu Pantai Harapan dan Wulandoni untuk menyelesaikan
tragedi Wulandoni dari sisi tradisi para
leluhur. Penyelesaian dan penandatanganan batas wilayah kemudian dibuat seremoni berdasarkan tradisi
leluhur adalah dua aspek penting yang tak bisa ditawar.
No comments:
Post a Comment