Blogger ATAILI, LEMBATA
Bota Bujak
January 13, 2016
VILLAGE KOLONTOBO
VILLAGE KOLONTOBO
Kolontobo, the name of a remote village in the eastern end of East Flores regency, Indonesia. People live from the alienation of telecommunications and power facilities. They can survive to live with the results of dry land agriculture. The only hope was a little rain in the rainy season to irrigate their agricultural land. The main livelihood is slicing palm wine to make drinks that will be sold to the surrounding area. Since 2006, local government, the regent Felix Fernades made the first road to the village Kolontobo. Until today we can enjoy the community Kolotobo way to get there by motorbike. And even then only certain people who can afford to buy a motorcycle. Indeed, this region is still isolated, including several surrounding villages like Basira, Tone, Koten and Lewokoli.
They have the religiosity of the people who are still steeped in culture Lamaholot. Nuba Nara as a place of worship to the ancestors still there. Chiefs who usually tell (coda knalan) about the origin of the soil Patisira and origin of their ancestors. However they can get to know who they really are, when they put themselves in the cultural structure Lamaholot. Koten-Kelen -Hurint- Maran are the names of major parts (kebelen) still cherished in the region.
The issue: whether the government open and direct gaze to this region to dismantle their alienation to find something new there?
August 27, 2014
PENGARUH TRAGEDI WULANDONI TERHADAP PASAR
Pertanyaannya, sejauh manakah
pengaruh tragedi Wulandoni terhadap nilai tukar rupiah?. Pasar global
tentu tak punya pengaruh apapun terhadap nilai tukar rupiah pasca tragedi
Wulandoni. Orang akan tenang-tenang saja karena tak ada saham besar terinfes di
pasar barter Wulandoni. Para pemegang saham besar di belahan dunia lain akan
memandang sebelah mata atas tragedi Wulandoni.
Lalu apa dampaknya terhadap masyarakat lokal?
Pertama; Ikon pasar Barter Wulandoni terekpos ke seluruh belahan dunia
karena mungkin satu-satunya (unik). Kabupaten Lembata memiliki ikon ini dan
karena keunikannya menarik banyak wisatawan asing (baca: hasil penelitian wisatawan asing). Pertumpahan darah dalam
perang tanding merupakan sebuah label yang mengerihkan terhadap minat wisatawan
lokal maupun asing. Minat akan semakin berkurang dan kerugian ada pada
masyarakat lokal dan Pemda Lembata.
Tugas utama adalah mengembalikan ikon ini seperti semula.
Kedua, Pasca tragedi Wulandoni, pasar Barter tampak loyo. Orang masih
trauma dengan tragedi Wulandoni. Kedua belah pihak belum bisa saling tukar
menukar barang. Pertumpahan darah dalam tragedi wulandoni
menurut tradisi adat istiadat tak bisa dilakukan tukar menukar barang sebelum seremonial secara adat. Jadi nilai
tukar barang di pasar barter untuk sementara ini tak punya nilai.
Ini adalah imbas terberat yang turut mempegaruhi pasar barter pasca
tragedi Wulandoni.
Lalu apa yang perlu dilakukan?.
Pemerintah Lembata harus melihat hal ini sebagai hal yang sangat penting
dalam proses perdamaian. Perdamaian tidak hanya sekedar penandatanganan surat
damai tetapi melalui seremonial adat istiadat dalam bahasa daerah Ataili “glawet malu kleruk”. Artinya bahwa
mereka saling memberi makan siri pinang. Tujuan selanjutnya adalah barang makan
minum milik orang Pantai Harapan bisa dimakan orang Wulandoni dan sebaliknya. Ini adalah tradisi yang selalu dipegang teguh.
Dengan demikian pasar barter akan hidup kembali. Alangkah baiknya pemerintah
membuat mediasi tidak alakadarnya
melainkan melihat sejauh mana imbas yang akan terjadi dalam masyarakat adat
khususnya terhadap pasar barter Wulandoni. Masyarakat sekitarnya selama ini bisa survive karena adanya pasar Wulandoni.
TRAGEDI WULANDONI DI BALIK TRADISI LELUHUR
“Smei
tongawa” adalah frase dalam bahasa daerah Ataili untuk
memberitahu kutukan kepada orang yang telah membunuh sesama. Smei tongawa
artinya juga kutukan kepada seorang pembunuh. Darah itu akan terus memanggil dan mengutuk. Dalam
kitab Kejadian, Kain membunuh Abel dihukum sampai tujuh turunan Kej, 4:15 dan
darah itu akan berteriak dari tanah, bdk. Kej: 4:10. “Smei tongawa” dalam tradisi leluhur paralel dengan kisah Kain dan Abel dalam
Kitab Kejadian di atas, maka tragedi
Wulandoni perlu dilihat dari sisi tradisi para leluhur untuk menyelesaikan konflik.
Penandatangan surat
penyataan perdamaian, pembuatan monumen perdamaian tidak disertai dengan
seremoni menurut tradisi leluhur tidak akan menyelesaikan masalah sampai ke
akar-akarnya. “Smei tongawa” dalam tradisi leluhur akan terus berteriak dan
meminta darah. Mungkin ini pemikiran sangat kuno dan tak sepadan dengan
kehidupan modern sehingga hal –hal seperti ini dianggap sebuah lelucon. Apakah “smei tongawa” adalah sebuah lelucon?
Saya kira tidak. Orang Lembata masih memiliki tradisi kuat mengenai smei
tongawa. Smei tongawa adalah beban moril seumur hidup. Seremoni perdamaian menurut
tata cara leluhur adalah cara terbaik untuk meringankan beban moril seumur
hidup atas kutukan smei tongawa.
Pemerintah Lembata harus
memberi ruang kepada kedua desa yaitu Pantai Harapan dan Wulandoni untuk menyelesaikan
tragedi Wulandoni dari sisi tradisi para
leluhur. Penyelesaian dan penandatanganan batas wilayah kemudian dibuat seremoni berdasarkan tradisi
leluhur adalah dua aspek penting yang tak bisa ditawar.
August 21, 2014
TANAH TUMPAH DARAHKU (Catatan Pasca Tragedi Wulandoni)
Tempat kelahiran, tanah air, kampung halaman
disebut juga “tanah tumpah darah”.
Alasannya bahwa tempat di mana kita dilahirkan, seorang ibu menumpahkan darahnya. Taruhannya
adalah nyawa ketika seorang ibu yang sedang berusaha melahirkan anaknya. Tanah tempat kelahiran kita adalah sakral
karena itu harus dijaga dan dibela bahkan nyawa menjadi taruhannya. Para
pahlawan bangsa kita adalah orang yang membela tanah air sampai mengorbankan
nyawanya. Mereka membela bangsa dan mempertahankan tanah tumpah darahnya. Sepenggal
syair lagu kebangsaan kita tentang “
tanah tumpah darah” sesungguhnya mengarah pada arti di atas.
Perang tanding telah terjadi di beberapa tempat
di wilayah Indonesia termasuk perang tanding antara desa Pantai Harapan dan
Desa Wulandoni adalah semangat jiwa yang mengakar pada pribahasa “tanah tumpah
darah”. Nyawa adalah taruhan ketika
mereka berjuang untuk membela dan mempertahankan tanah tumpah darahnya
masing-masing. Membela dan mempertahankan tanah tumpah darah adalah semangat
dan jiwa bangsa Indonesia yang telah ditanamkan berabad-abad lamanya ketika
kita dijajah oleh bangsa Belanda. Warisan jiwa kebangsaan untuk mempertahankan
tanah tumpah darah menjadi jiwa anak bangsa dari generasi ke generasi karena
semangat ini diamini setiap kali mereka
menyanyikan lagu kebangsaan.
Momentum 17 Agustus 2014 rupanya dimanfaatkan
oleh masyarakat desa Pantai Harapan dan desa Wuladoni untuk melakukan aksi
heroik dengan perang tanding untuk membela dan mempertahankan tanah tumpah
darahnya masing-masing. Desa Pantai
Harapan dan desa Wulandoni bertetangga dan bertahun-tahun, mereka menjalin
sebuah persahabatan semu. Mereka hidup dalam kungkungan dan bukan kemerdekaan
maka aksi perang tanding sesungguhnya merupakan sebuah teriakan untuk
memerdekakan diri.
Tak perlu mencari kambing yang hitam dan
menjadikan diri kita kambing putih untuk berdiri di antara kedua desa. Itu
bukan berarti sama sekali tidak ada jembatan yang dapat menghubungkan kedua
desa di atas. Teriakan perang tanding adalah gong yang tidak diinginkan oleh
semua orang akan tetapi menjadi sebuah peringatan keras untuk segera
diselesaikan. Yang hanya bisa menjembatani kedua bela pihak adalah Pemerintah daerah Lembata
yang sedang menjalankan tugas di kabupaten Lembata. Gong kekeraan harus disambut dengan gong
perdamaian. Lebih cepat lebih baik.........
August 16, 2013
“DALAW BAE” BANGUNLAH DARI TIDURMU
“Dalaw”
artinya terlambat bangun pagi. Orang yang terlambat bangun, kehilangan
kesempatan kerja. Berbeda dengan orang yang terlambat bangun karena sakit disebut “balera”. Membangun adalah kata kerja dari kata
dasar “bangun”. Jadi yang dimaksudkan kata “bangun” di sini dalam
konteks pembangunan fisik dan pembangunan Sumber Daya Manusia. Kata
bangun juga dipakai dalam bahasa daerah Ataili tetapi tidak dalam konteks
pembangunan fisik dan SDM melainkan bangun dari tidur. Contoh: No
banguna kei ka artinya apakah dia sudah bangun? Bangu re artinya bangunlah
sekarang. Go rio ara tana bangunna a artinya saya panggil-panggil tapi
dia tidak bangun. Semuanya diartikan dalam konteks bangun dari tidur.
Judul
di atas dalam hubungannya dengan konteks pembangunan fisik, SDM dan juga
bangun dari Tidur yang berkepangjangan.
Mengingat
semua pengertian di atas maka kami menggedor orang Ataili supaya tidak
ketiduran melainkan bangun dari tidurnya yang panjang. Era globalisasi ini
memacuh semangat untuk berlomba-lomba untuk menata kehidupan yang
sejahtera. Setiap saat ada perubahan dan siapa yang tidak beubah dia akan
ketinggalan dalam soal perubahan ilmu dan teknologi. Akankah orang Ataili
bersaing dengan arus globalisasi?
Saya
teringat pesan orang tua (nenek moyang) orang Ataili “dalaw bae” artinya
jangan terlambat bangun. Anda harus cepat bangun, ambil , air, ambil kayu,
hidupkan api, masak air- buat kopi, cari makanan kambing, babi dll. Ini adalah
pekerjaan harian. Ketika matahari semakin panas anda istirahat kerja.
Harus
diakui bahwa untuk sementara kita hanyalah konsumen barang-barang buatan orang
lain. Kita selalu terlambat dalam menciptakan hal-hal yang baru. Kita selalu terlambat bangun (dalawa). Sumber daya
alam cukup menjanjikan, peluang selalu ada, SDM tidak diragukan, sayang bahwa
pemerintah daerah selalu terlambat bangun (dalawa) melirik semua peluang
itu. Program Anggur Merah oleh Gubenur
Frans Lebu Raya belum maksimal. Rakitan program anggur merah tidak mempelajari
kesalahan masa lalu. Konkretnya di Ataili terjadi gagal panen babi, ayam potong,
sapi adalah kesalahan yang tidak dipelajari kembali.
Di
Ataili, setiap tahun menghasilkan berton-ton kacang tanah, belum lagi di daerah
lain. Kacang dijual murah kemudian dibawah ke Surabaya untuk diolah lagi. Mengapa
tidak diolah sendiri di Lembata? Mengapa tidak dibuat pengalengan daging ikan
paus, ikan tembang di labala dll?
Mengapa
tidak dibuat pengalengan minyak ikan
paus dan itu sangat berguna untuk perkembangan otak anak? Tempurung kelapa
melimpa rua tapi pemerintah daerah tak berani mendatangkan seorang infestor
arang di Lembata.
Kita
selalu terlambat bangun dalam bahasa daerah Ataili “dalawa”.
July 25, 2013
YESUS KRISTUS, “LIRI WANAN SEJATI”
Suku-suku yang ada di desa Ataili, Lembata memiliki tradisi kuat
mengenai “liri Wanan”. Liri Wanan artinya “tiang kanan rumah”. Tiang Kanan rumah induk suku adalah tempat
keramat. Ketika ada anggota suku mengalami suka dan duka pasti dia datang ke liri wanan
suku untuk membuat upacara pemujaan kepada para leluhur suku dan Lera Wulan Tana
Ekan. Ini adalah tradisi yang paling kuat dan sulit dihilangkan. Mungkin saja “Nubar”
tempat pemujaan umum bisa dibongkar oleh para misionaris tetapi Liri wanan
adalah warisan pemujaan suku yang tak
pernah akan hilang. Alasannya:
1.
Tempat pemersatu suku termasuk
arwah leluhur anggota suku.
2.
Tempat meminta berkat dan kutuk
3.
Senantiasa dikabulkan
4.
Tempat untuk mengadakan nazar
Ada beberapa contoh yang mungkin akan memperjelas persoalan ini.
Petama, Jika salah seorang anggota suku yang hendak menikah, maka kepala rumah liri wanan akan mengadakan pemujaan di liri
wanan. Dia meminta berkat agar upacara perkawinan, adat istiadat (soal belis),
akan berjalan dengan lancar tanpa ada halangan. Kedua, jika ada persoalan yang
terjadi tanpa ada keputusan maka dia akan pergi ke liri wanan dan membuat
nazar. Orang yang bersalah akan mendapat hukuman dari arwah leluhur suku. Ini adalah hal yang paling
ditakuti karena hukuman akan terjadi dan
sungguh terjadi. Tradisi liri wanan sangat kuat dan berlangsung dengan baik
hingga sekarang.
Orang yang mengadakan pemujaan di liri wanan sekaligus dia
adalah orang Katolik. Persoalannya, mengapa ia tidak meminta berkat dan kutuk
kepada Tuhan melalui Yesus Kristus?
Agama Katolik memang lahir di Asia tetapi berkembang di
Eropa saat itu. Kita orang Asia mendapat warisan tradisi iman Katolik ala Eropa berkat para misionaris. Warta gembira yang taburkan jelas tidak memiliki akar yang
kuat karena kurang memperhatikan adat istiadat
dan religiositas rakyat lokal. Agama Katolik menjadi agama minor di Asia
dan sangat berbeda dengan Agama lain seperti Islam, Hindu dan Buddha. Persoalan
ini telah lama disinyalir para teolog seperti Aloysius Pieris, Tissa
Balasuriya. Michael Amaladoss. Sabda
belum menjadi manusia Asia demikian kata Pieris. Asia termasuk Indonesia dan
khususnya orang Lamaholot memiliki religio kultural yang yang sangat kuat. Oleh
karena itu A. Pieris menawarkan tiga hal penting yang perlu diperhatikan
adalah: 1. heterogenitas linguistic 2. integrasi unsur-unsur kosmik dan
metakosmik dalam agama-agama di Asia, dan 3. kehadiran luar biasa dari
ajaran-ajaran keselamatan (soteriologis ) bukan Kristen.
Berhadapan
dengan konsep “liri wanan” tiga pilar utama yang ditawarkan Pieris sungguh
sangat menyentuh masyarakat Ataili. Liri Wanan adalah kata kunci dalam soal
bahasa religiositas Rakyat yang perlu diangkat kembali karena Liri wanan menyatu dengan kehidupan
masyarakat Ataili sehari-hari. Liri Wanan, Nuba Nara adalah unsur-unsur Kosmis
dan metakosmis sekaligus mengandur unsur
soteriologis dalam religiositas
masyarakat Ataili. Kristus menjadi semua
dalam semua (Kristus Kosmis). Mungkin kita akan jatuh pada pantheisme tetapi
bagi masyarakat Ataili justru di situlah letak kekuatan di mana Yesus masuk
dalam sebuah kultur.
Liri
Wanan harus disatukan dengan Yesus Kristus sehingga menjadi semua dalam semua.
Dia adalah awal dan akhir dari segala sesuatu. “YESUS ADALAH LIRI WANAN
SEJATI”. Siapapun yang datang ke Liri Wanan berhadapan dengan Yesus Kristus.
Subscribe to:
Posts (Atom)