Dalam bahasa daerah Ataili, kata “sigi kniri” adalah kiasan. Kiasan ini mau mengatakan kepada
orang lain yang masih menyimpan kesalahan
orang lain. Sewaktu-waktu dia akan mengungkit kembali kesalahan tersebut
untuk membela diri. Dalam arti tersebut orang yang sigi kniri tetap menyimpan
dendam terhadap orang lain.
SIGI KNIRI DALAM ADAT PERKAWINAN
Adat perkawinan orang Ataili diselesaikan dalam beberapa tahap.
1.
Pertama, orang Ataili menyebutnya
“PANA LALA” . Tahap ini beberapa wakil dari pihak laki-laki yang diketuai oleh
mediator jalan menuju rumah pihak perempuan untuk menyampaikan maksud bahwa
anak laki-lakinya ingin melamar anak gadis mereka.
2.
Jika pihak perempuan setujuh maka
akan ada tahap kedua yaitu “adat pawa malu”.
Adat saling memberi siri pinang, koli tembakau.
3.
Tahap ketiga adalah tahap terbesar
yaitu “adat Pawa Elu” (adat makan daging)
4.
Setelah tahap ini baru bisa
menikah resmi di gereja Katolik
5.
Setelah Menikah ada adat “antar
bine dan liwu gili”
Dalam perjalanan waktu beberapa tahap di atas, hubungan antar pihak
perempuan disebut “Opun” dan pihak laki-laki disebut “makin” dijaga dengan
baik. Makin, pihak laki-laki harus menghormati opun, pihak perempuan.
Diharapkan agar tak ada kata-kata kotor, dan juga perbuatan tidak baik dari pihak makin terhadap pihak opun. Jika
ada kata-kata yang kurang baik disampaikan kepada pihak perempuan (opun) maka
mereka akan “sigi kniri”. Kata-kata ini dipakai untuk menuntut adat tambahan
pada pihak laki-laki (makin). Sigi Kniri dalam adat perkawinan memang penting
dan baik untuk menjaga keharmonisan antar kedua belah pihak. Dan lebih penting
dari itu adalah kedua belah pihak saling menghormati, menghargai lebih daripada
orang lain.
SIGI KNIRI DALAM ARTI UMUM DAN HUBUNGANNYA DENGAN AJARAN YESUS
Sigi Kniri kemudian dipakai secara umum, tidak dalam hubungannya dengan
adat perkawinan. Orang memanfaatkan kesalahan orang untuk menuntut “sigi
kniri”. Orang yang selalu memanfaatkan kesempatan sigi kniri adalah orang yang
menutup diri dengan kemajuan. Peradapan semakin modern, dunia semakin
dipersempit dengan teknologi internet
sementara kita masih bergelut dengan sigi kniri maka kita akan
kehilangan kesempatan. Kniringa harus diramu sehingga mengasilkan sebuah energi
baru untuk mengubah hidup. Kniringa tidak semata-mata kata-kata buruk melainkan
ada sebuah kritikan membangun.
Saya teringat seorang kakek mengatakan begini: “Tua meli no kniringa ro alus, pas teka la
orega tali la mojip goe” artinya: pastor itu berkotbah dengan kata2 yang bagus
menyentuh hati saya, sesuai dengan hidup saya. Jadi kniringa belum tentu jelek.
Kniringa harus diramu kembali. Ketika orang tidak meramunya tetapi memanfaatkan
sigi kniri maka ia telah menutup diri dengan sebuah perubahan. Sigi kniri, oresa
ro golo, tidak menghasilkan sesuatu yang baru dalam hidup. Orang Ataili modern
tak perlu bergelut dengan sigi kniri.
Ajaran Yesus mengatakan bahwa kita harus mengampuni bukan tujuh kali
melainkan tujuh puluh kali tujuh kali, artinya tanpa batas. Jika kamu
menghantar persembahan dan teringat bahwa ada masalah dengan orang lain maka, tinggalkanlah
persembahan dan pergilah dahulu berdamai
dengan orang itu dan kemudian menghatar persembahan. Janganlah membalas
kejahatan dengan kejahatan tetapi ampunilah mereka dan berdoalah kepada mereka
yang menganiaya kamu. Dengan demikian maka “sigi kniri” tidak menjadi momentun
untuk membalas kejahatan dengan kejahatan.
"Orang yang selalu memanfaatkan kesempatan sigi keniri adalah orang yang menutup diri dengan kemajuan"Pernyataan ini justru melemahkan nilai edukatif dalam adat "sigi keniri." Mengampuni berulang-ulang tidak sama dengan membiarkan. Orang yang selalu menuntut sigi keniri tidak bisa dinilai sepihak sebagai orang yang memanfaatkan kesempatan. Apapun alasannya, adat sigi keniri itu wajib dipelihara.
ReplyDeleteSigi Kniri dalam adat istiadat orang Ataili wajib hukumnya. Sigi kniri kemudian dimanfaakan dalam arti umum keliru. Salah tempatnya. Berlawanan dengan kemajuan.
Delete