Malam ini, saya barusan kembali memberkati sebuah rumah yang cukup jauh dari pusat paroki. Dalam
perjalanan pulang, tiba-tiba ada seekor babi hutan menyeberang jalan. Babi itu
lari dengan kencang dan hampir menabrak
sepeda motor. Ketika itu saya teringat tradisi berburu babi hutan di kampung saya Ataili. Beberapa kali saya
bersama kakek ikut dalam perburuan masal dalam bahasa daerah Ataili disebut “Bati welok”.
Berapapun banyak binatang buruan yang didapat harus di bagi dengan
adil. Tempat pembagian binatang buruan disebut “LAKAR”. Tak seorangpun berani
menyembunyikan daging lebih untuk dia. Mereka berpegang teguh pada kata-kata ini “Eka Rotan”. Artinya binatang buruan yang didapat jika tidak
dibagi dengan adil maka alam akan menghukumnya.
Kerap terjadi bahwa ketika orang tidak membagi dengan adil maka ia akan mati digigit binatang hutan yang
sama. Banyak orang telah menjadi korban keganasan babi hutan. Ini adalah hukum
alam yang tidak bisa ditawar-tawar. Tradisi yang telah dikramatkan turun
temurun. Oleh karena itu janganlah bermain-main dengan keadilan alam karena
alam sendiri akan menghukumnya.
“Lakar” adalah tempat keadilan. Ada orang yang tugaskan secara khusus
untuk membagi daging hasil buruan. Pembagian tanpa memandang apakah anak kecil
atau orang besar bahkan anak dalam rahim ibu juga mendapat bagian yang sama.
Ketua Lakar membuat upacara ritual sebelum pembagian dimulai. Menurut tradisi
agar lakar itu tetap panas (lakar knating) dengan maksud bahwa ketika kita
pergi berburu (bati welok) kita akan
mendapat lebih banyak lagi hasil buruan.
“Lakar” adalah tempat perjamuan persaudaraan. Semua perserta yang ikut
dalam perburuan/ “bati welok”, hadir di lakar dan makan bersama. Makanan yang
dibuat secara tradisional namanya “slaut”. Jenis masakan dalam bambu bersama dengan darah,
hati, jantung dan semua isi perut hasil buruan.
Memang enak karena dimasak secara alami.
Slaut dibagi dengan adil.
Semua akan kembali ke rumah masing-masing tanpa beban. Mereka telah menikmati
sebuah perjamuan persaudaraan dengan adil di “LAKAR”. Masih adakah tradisi ini?
EKARISTI ADALAH PERJAMUAN PERSAUDARAAN
Meja perjamuan adalah tempat Yesus dikorbankan. Tempat di mana Yesus
dipotong-potong dan dibagi-bagi dalam perjamuan ekaristi. Meja perjamuan adalah
“lakar Allah” dan imam sebagai “ketua lakar”. Sang imam membuat ritual dan
kemudian membagi-bagi dengan adil. Tidak semua orang bisa mengambil bagian
dalam perjamuan, hanya mereka yang layak menerima sebagaimana di lakar hanya mereka
yang ikut dalam perburuan. Yesus harus diburu dan jangan sampai kehilangan
Yesus. Dia adalah tempat keselamatan kita. Dialah yang memberi hidup kepada
semua orang. Yesus adalah keadilan Allah karena itu janganlah bermain-main
dengan keadilan Allah. Siapa yang bermain-main dengan keadilan Allah akan
mendapat hukuman.
Setiap hari imam mempersembahkan korban misa dan pada hari Minggu umat
ikut ambil bagian dalam korban ekaristi. Setiap hari Minggu imam sebagai ketua
lakar mengadakan ritual sehingga “lakar Allah tetap knating”. Semakin sering
kita ikut ambil bagian dalam perjamuan “lakar Allah”, semakin layak kita
memperoleh keselamatan yang datang dari Allah.
betul skali...Tradisi yang telah dikramatkan turun temurun. Oleh karena itu janganlah bermain-main dengan keadilan alam karena alam sendiri akan menghukumnya. ....
ReplyDeletebetul sekali, salut padre,
ReplyDeletemembaca tulisan2 di blog ini, seperti membawa saya kembali ke masa kecil, tradisi dan kearifan lokal yang kadang dianggap sepele, ternyata jika digali dan refleksikan kembali, sarat makna kehiduban, terlebih di jaman canggih seperti ini,
teruslah menulis bloger Ataili, saya tau kampung itu menyimpan potensi para sastrawan dan penulis....
salam sukses!