Bota Bujak

Bota Bujak
Ataili, kampung kecil, unik, menyimpan banyak misteri. Kekayaan warisan budaya, adat istiadat didaur ulang sehingga menjadi ramuan yang berguna demi kehidupan bersama. Ola glekat lewotana adalah kewajiban setiap anak tanah. Kritik sosial penting untuk membangun kehidupan bersama yang lebih baik dalam era arus globalisasi. Tulis apa adanya, jangan menipu (bahasa lokal: akalbae).

July 13, 2013

"NUBAR", TEMPAT PEMUJAAN ORANG ATAILI-LEMBATA


Kata “Nubar”  tidak memiliki arti  apapun dalam semua bahasa. Ini adalah sebuah batu  keramat di desa Ataili, Lembata, Indonesia.  Batu tersebut diberi nama Nubar. Persoalannya bahwa tempat yang disebut “nubar, Nuba nara” hampir merata ada di semua kampung di wilayah orang Lamaholot. Mereka menggunakan nama yang hampir sama yakni “nubar, nuba nara”. Dari manakah asal usul batu –batu tersebut dan apa fungsinya, saya kira masing-masing kampung memiliki sejarahnya masing-masing. Kami hanya memberi beberapa penjelasan mengenai Nubar milik nenek moyang orang Ataili. Dengan demikian warisan sejarah Nubar dapat dikisahkan kembali turun temurun.
Menurut penuturan  nenek Ose, orang yang sekarang tertua di kampung Ataili bahwa batu itu berasal dari Tanjung Atadei. Batu itu sangat besar sehingga orang tak mampu membawahnya. Para tetua  zaman dahulu memiliki kekuatan gaib yakni mampu menyuruh batu itu berjalan sendiri. Mungkin ini aneh bahkan mustahil tetapi bagi mereka ini adalah sesuatu yang sangat mungkin demikian kata nenek Ose. Mereka menghantar batu dari Tanjung Atadei menuju kampung lama Ataili dengan nyanyian tradisonal (urulele). Sementara di kampung, orang sedang menyanyi dan menari menunggu kedatangan batu tersebut. Anehnya bahwa batu itu berjalan dalam tanah sementara pengantar berjalan di atas tanah. Mereka tahu bahwa batu itu sedang berjalan, mereka tahu bahwa batu itu lelah  berjalan kemudian mereka harus istirahat menunggu. Akhirnya sore hari merekapun tiba di kampung Ataili tetapi batu tersebut belum muncul di atas permukaan tanah.
Semalam suntuk mereka mengadakan pemujaan dengan menyanyi dan manari dalam bahasa daerah disebut  “tula nama, urulele”. Selain itu, mereka mengadakan pesta sekaligus memberi sesaji, memohon agar batu tersebut muncul keesokan harinya. Di luar dugaan akal sehat manusia, keinginan masyarakat tercapai yakni menjelang siang, batu itupun tumbuh tinggi melebihi permukaan tanah. Mereka yakin bahwa batu tersebut memiliki kekuatan gaib yang patut disembah. Sejak saat itu,  batu tersebut menjadi tempat pemujaan dengan nama “Nubar”.  Sekali setahun masyarakat berkumpul untuk mengadakan pemujaan dengan memberi sesaji  pada Nubar.  Mereka tidak memiliki susunan  ritus pemujaan tetapi hanya memohon berkat dari Nubar dengan menggunakan syair-syair daerah. Misalnya memohon supaya angin ribut berhenti inti syairnya sebagai berikut: Mai tokogu lau ari lewa, mai buletu jae kebo pola.
Jika mereka meminta supaya tahun ini panen padi dan jagung melimpah inti syairnya sebagai berikut: Breka tanah kama paraw nuja golu, boi koja

Selain Nubar, pada keempat penjuru kampung, mereka menanam pohon beringin dan kemudian memberi namanya masing-masing. Satu lagi pohon beringin di tanam sebelum pintu gerbang masuk kampung. Nama-nama pohon beringin sebagai berikut:
1.     Lein lali kia Satel artinya bagian selatan namanya Kia Satel
2.     Wanan weli Sobaratu: artinya bagian kanan/ bagian Barat namanya Sobaratu
3.     Seken weli Kae Ali artinya bagian kiri/bagian timur namanya Kae Ali
4.     Weran teti Malakalu artinya bagian utara namanya Malakalu
5.     Wutun lali Adowajo artinya bagian ujung pintu masuk kampung namanya Adowajo
6.     Inaga mio Jawa Lepa artinya ibuku Jawa Lepa. Nama Ibuku Jawa Lepa itulah Nubar yang ditempatkan di tengah Kampung.

Pohon-pohon beringin ditempatkan dengan namanya masing-masing berfungsi sebagai tentara, pelindung kampung. Nama-nama tersebut di atas adalah nama-nama panglima perang yang tak terkalahkan. Mereka memiliki kekebalan tubuh yang disebut dengan “kebel alap”.  Tak terhitung lagi kepala manusia tersimpan sampai sekarang.  Selama perang Paji dan demong, selama perang dengan penjajah belanda maupun jepang, Kampung Ataili selalu selamat.

Sisi Gelap Inkulturatip

1.     Pertama, Beberapa tempat  lain menganggap Nubar, Nuba Nara sebagai “wujud Yang Tertinggi”  sedangkan orang Ataili sulit mengatakan bahwa Nubar  adalah wujud tertinggi, asal mula segala sesuatu yang ada. Nubar hanya sebuah tempat pemujaan untuk meminta rejeki. Nubar ada sesudah manusia ada. Hanya mungkin mereka memiliki kayakinan bahwa batu tersebut memiliki kekuatan gaib. Mereka boleh meminta apa saja sesuai dengan keinginan mereka. Ini adalah salah satu bentuk regiositas rakyat.
2.     Kedua, Nubar diberi nama seorang perempuan yakni “inaga Jawa  Lepa”. Kata Inaga artinya ibuku dan itu jelas merujuk pada seorang perempuan. Dalam tradisi gereja Katolik memang  sulit menentukan Tuhan itu seorang laki-laki atau seorang perempuan. Hanya bisa kita buat penafsiran bahwa Tuhan itu seorang laki-laki. Yesus mengajarkan doa : “Bapa kami yang ada di Surga”.... Kata “bapa” jelas merujuk pada seorang laki-laki. Oleh karena itu sulit mengatakan bahwa “Nubar” adalah Tuhannya orang Ataili sebelum agama Kristen Katolik.
3.     Ketiga, mengapa mereka memberi nama seorang ibu pada Nubar? Dalam tradisi orang Ataili, ibu sangat penting dalam memberi makan dan minum kepada anak-anaknya terutama  menyusu anak-anaknya. Kebaikan hati seorang ibu inilah yang meyakinkan mereka bahwa dengan memberi nama seorang ibu,  rejeki yang diminta senantiasa dikabulkan.  Nubar adalah seorang ibu yang selalu memberi rejeki kepada mereka.  Ibu yang baik hati.  Apakah Nubar bisa disejajarkan dengan Bunda Maria? Dalam tradisi gereja Katolik, Bunda Maria sangat dihormati. Banyak orang memiliki pengalaman indah bersama  Bunda Maria. Bunda Maria adalah Ibu Gereja yang selalu setia menghantar doa-doa kita kepada Bapa melalui Puteranya Yesus Kristus. Bunda Maria adalah mediator. Saya kira Nubar Jawa Lepa adalah bukan Tuhan melainkan  mediator antara orang Ataili kuno dengan sang wujud tertinggi. Jadi Nubar bukan sosok wujud tertinggi. Persoalannya: Apakah Nubar bisa diganti dengan sosok patung bunda Maria? Ada kedekatan antara sosok bunda Maria dengan sosok Nubar dalam tradisi orang Ataili kuno.  Meskipun demikian tetap ada sisi gelap karena Nubar bukanlah sosok turunan dari wujud yang tertinggi.
4.     Keempat, sulit mengatakan bahwa kelima orang panglima perang yang ditempatkan sekeliling kampung dalam wujud pohon beringin disamakan dengan Malaikat pelindung. Dalam tradisi Gereja Katolik kita hanya mengenal 3 orang Malaikat Agung yaitu, Gabriel, Mikael dan Rafael.  Para Malaikat agung dan panglima perang dalam tradisi orang Ataili Kuno memiliki tugas yang sama yakni melindungi orang agar selamat dari ancaman bahaya.

Setelah Agama Katolik menyebar sampai ke pelosok-pelosok daerah, banyak simbol regiositas rakyat dimusnahkan. Ketika itu gereja Katolik belum memulai inkulturasi yang sesungguhnya. Nubar milik orang Atailipun  dibongkar. Beberapa benda-beda bersejarah seperti kumbang keramat, tombak keramat milik Suku Bakior dibawa ke Lamalera oleh Pastor Kaut. Kami hanya berharap masih tersimpan di Paroki Lamalera. Yang masih tertinggal adalah Nubar meskipun tidak pada posisinya dan sekarang kelima pohon beringin masih hidup. Sulit mengukur berapa umur pohon beringin ini. Hanya para ahli bisa mengukurnya.
Hal ini sangat berbeda dengan apa yang terjadi di Larantuka yakni proses inkulturasi sudah berjalan meskipun belum sepenuhnya. Tahun 1938 P. Clouters  memindahkan Nuba Nara/ sebuah batu besar dari tempat asalnya kemudian di tanam dibawah altar gereja Nawokotek, Larantuka.  Selama 61 tahun mayarakat meyakini bahwa di bawah altar terdapat Nuba Nara Milik mereka. Karena gereja tersebut rusak dan tidak terpakai lagi maka tahun 1999  P. Matheus Bala, SVD  bersama masyarakat menggali kembali Nuba Nara tersebut. Masyarakat ingin mengembalikan situs bersejarah Nuba Nara ke tempat asalnya untuk melanggengkan warisan tradisi adat istiadat nenek moyang mereka. Mereka membuat ritus pemindahan dengan tarian dan nyanyian daerah. Nuba nara tersebut dimandikan dengan darah binatang korban persembahan untuk mengembalikan kekuatan magisnya seperti semula. Proses pemindahan ini sempat membuat geger pihak Vatikan padahal beberapa pihak mengatakan bahwa proses pemindahan ini hanya semata-mata karena usaha pariwisata daerah. (bdk. Actualité des Religions, Paris, February, p.7 dalam Atila Sinke Guimarães, Bird’s Eye View of the News bdk. Juga  UCANEWS: FLORES PARISH RETURNS ALTAR OF LOCAL RELIGION, December 03 1999)
Di Kampus Atmajaya pernah diadakan seminar tentang Lamaholot dengan menghadirkan beberapa pembicara asal Flores Timur seperti: Max Boli Sabon dosen Atmajaya, Yohanes Suban Tukan, aktivis gereja di Keuskupan Agung Jakarta dan Kahadji Kalake pembicara Muslim. Persoalan utama adalah Dualisme regiositas masyarakat Lamaholot. Meskipun gereja Katolik telah berakar kurang lebih 300 tahun dan sekitar 80%  masyarakat Lamaholot beragama Katolik tetapi  Konsep Lewo Tanah yang bersumber pada Nuba Nara tetap melekat dan justru keterikatan kekrabatan lebih kental dibanding dengan keterikatan sebagai orang Katolik. (Ucanews, DUAL RELIGIOSITY PREVAILS AMONG EAST FLORINESE CATHOLIC 24 Februari 1993)
Kesimpulan seminar itu mengingatkan pengalaman saya mengenai dualisme dalam kehidupan religiositas rakyat Ataili khususnya dan masyarakat Lamaholot umumnya. Tentang dualisme ini akan kami diuraikan pada bagian “Lewotanah dan Liri Wanan”

July 5, 2013

YESUS, TONG SAMPAH DOSA MANUSIA


Ketika itu saya berumur 11 tahun dan sedang duduk di kelas V SD. Karena mama saya adalah anggota kelompok santa Anna di kampung Ataili maka saya ikut dia dalam acara serah terima jabatan ketua Santa Anna yang lama kepada ketua yang baru terpilih. Pada waktu itu ketua lama adalah Ibu Marta Siba Uden menyerahkan jabatan kepada Gertrudis Ingir Ingan. Saya masih ingat baik kata sambutan dari ketua lama (ibu Marta Siba Uden almahruma). Dia mengatakan, dalam bahasa daerah jika diterjemahkan sebagai berikut: Menjadi seorang pemimpin siap menjadi tong sampah. Semua yang buruk akan diserahkan kepada kita. Kita seperti tong sampah yang siap menampung hinaan, celaan, omelan, karena itu kita harus tabah, setia menjalankan tugas. Potongan kata sambutan ini saya ingat terus dan mungkin seumur hidup tetap saya ingat. Sekarang barulah saya sadar bahwa orang kampung yang tidak memiliki pendidikan formal memiliki kebijaksanaan ini.
Dalam konteks pemikiran ini, saya mencoba mengembangkan ide bahwa Yesus  sebagai tong sampah dosa manusia. Teologinya jelas bahwa Yesus Wafat di  kayu salib untuk menebus dosa-dosa manusia. Yesus tidak membedakan agama, suku, ras dll. Yesus bagaikan bak sampah raksasa yang siap menampung dosa milyaran manusia di bumi. Yesus tidak membedakan jenis-jenis dosa, apakah dosa korupsi, perampokan, pembunuhan, pemerkosaan, penipuan, dan lain-lain, semuanya ditampung oleh Yesus kemudian dilebur bersama dengan korbanNya di atas Kayu Salib.
Setelah itu manusia dengan bangga mengenakan manusia baru bagaikan kertas putih yang belum dicoreti. Apakah  semudah itu Yesus menampung semua dosa kita? Saya kira  tidak. Manusia harus dengan rendah hati mengakui semua dosanya di hadapan Tuhan. Kita ingat kedua penjahat disalibkan bersama dengan Yesus, yang satu di sebelah kanan dan yang lain di sebelah kiri. Penjahat di sebelah kanan mengakui kesalahannya dan memohon belaskasih dan pengampunan dari Yesus. Yesus menjawab “Hari ini engkau ada bersama dengan saya di Firdaus”.  Berbeda dengan penjahat di sebelah kiri. Ia sendirilah yang memikul dosanya dan tempatnya bukan di Firdaus.
Menjadi pemimpin, mampukah menjadi tong sampah mulai dari hinaan, celaan, omelan, dll? Saya kira manusia di bumi tak akan mampu. Hanya Yesus sebagai Tuhan dan guru kita menjadi bak sampah raksasa yang siap menampung semua dosa kita bahkan ia ditampar, diludahi, dihina, disiksa sampai mati, Yesus tidak melawan. Justru Yesus berdoa kepada mereka yang membunuhNya. “Ya Bapa ampunilah mereka karena mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat”.  Amin.....

July 3, 2013

“GEMOHING”, MELUMPUHKAN EGOISME


Pernah saya mengikuti ritual adat orang dayak suku Golik namanya “urik penou”. Ini adalah salah satu ritual yang diadakan sebelum menebas dan menebang ladang. Mereka meminta “Tompa” (Tuhan menurut orang Golik) agar senantiasa menjaga dan melindungi mereka selama musim menebas. Semoga mereka terhindar dari malapetaka, bahaya binatang hutan dll. Seluruh masyarakat kampung ikut ambil bagian dalam ritual ini. Ini adalah ritual yang mengesankan saya karena dilakukan secara gotong royong. Dalam perjalanan pulang dari acara ritual ini, saya teringat dengan gotong royong  orang lamaholot dalam bahasa daerah disebut “gemohing”.
Gemohing,  bagi saya bukan hal baru karena saya  pernah ikut gemohing, yakni kerjasama dalam mengerjakan ladang. Mengapa harus ada gemohing?  Orang lamaholot sadar bahwa kemampuan manusia memang sangat terbatas. Manusia memerlukan orang lain agar ladang yang besar bisa diselesaikan dengan cepat. Gemohing tidak hanya indah kedengaran tetapi mengandung arti dan makna yang sangat bagus. Manusia tidak hanya hidup seorang diri melainkan hidup sosial dan bermasyarakat. Dan justru gemohing sesuai dengan sifat manusia yakni “makhluk sosial. Keindahan kata “gemohing” menjadi ikon perusahan daerah Lembata yang disebut dengan “PD Gemohing”.  Apakah perusahan daerah ini sungguh berorientsi pada kata yang digunakan atau tidak. Hanya orang PD gemohing yang tahu arti yang sesungguhnya.
Persoalannya, apakah “gemohing” masih memiliki makna yang sebenarnya? Pernah saya pulang belibur dan melihat kehidupan masyarakat, ternyata gemohing tidak seperti dulu lagi. Orientasi masyarakat tidak pada sikap gotong royong tetapi orientasi pada uang. Saya kerjakan ladang anda dan anda harus bayar saya dengan uang.  Orientasi ini akan memunculkan egoisme dalam setiap orang. Dalam banyak hal orang Lamaholot memiliki kata dan simbol yang penuh dengan makna. Sayang bahwa manusia modern lupa dengan hal-hal penting yang menjadi warisan budaya orang lamaholot. Membangun daerah sendiri hanya bisa dengan bekerjasama (gemohing).  Lembata memiliki PD gemohing. Persoalannya sejauh mana taringnya PD gemohing membantu untuk mewujudkan  masyarakat yang sejahtera di Lembata. Kita hanya berharap ...semoga...Tuhan memberkati...


July 2, 2013

“KEWA WEKI” ADALAH AKAR DOSA


Dalam tradisi Gereja Katolik , “kesombongan” adalah akar dosa dan kejahatan. Kita ingat akan kisah dalam Kitab Kejadian ketika manusia pertama jatuh ke dalam dosa. Mereka ingin menjadi seperti Allah dengan makan buah terlarang tetapi bukannya menyaingi Allah melainkan mendapat hukuman dari Allah. Kita juga ingat akan kisah pembunuhan Kain dan Habel, kisah menara babel, semuahnya terjadi hanya karena kesombongan manusia. Kesombongan diartikan dalam bahasa daerah ataili “kewa weki” artinya manusia mengangungkan dirinya karena dialah yang paling hebat dari orang lain.
Orang yang rendah hati seharusnya tidak terjadi dengan sikap “kewa weki” dalam dirinya karena kewa weki adalah suatu kesombongan diri. Orang rendah hati tidak akan kewa weki, dan juga tidak mengharapkan pujian dari orang lain (ate kewanga). Kewa Weki juga akan menjadi sebuah persoalan besar dalam hidup bersama atau hidup bermasyarakat.  Akan menjadi  persoalan besar ketika orang yang suka memelihara sikap “kewa weki”  menjalankan tugas pada sebuah posisi jabatan penting. Orang seperti ini tidak akan mendengar pendapat dan kritikan orang lain karena dialah orang yang terhebat (kewa weki).  Memang sulit bekerjasana dengan orang yang suka  bertekun dengan sikap kewa weki.  Orang lain  diangap tak bisa berbuat apa-apa selain dia.
Pada saat seperti ini, hasil sebuah pekerjaan hanya dilihat pada sisi berdasarkan sudut pandang orang yang kewa weki.  Akan menjadi  lebih sempurna jika hasil sebuah pekerjaan dilihat dari berbagai sudut pandang. Sekecil apapun dan sebodoh-bodohnya  manusia, pasti ada kebenaran dalam sudut pandangnya. Kita hanya memandang dari depan dan biarkan orang lain memandang dari belakang sehingga ketika kedua sudut pandang ini dipaduhkan akan menghasilkan kebenaran yang lebih sempurna. Membangun Kabupaten Lembata tak bisa dengan kewa weki melainkan meramu kembali semua pendapat dan kritikan  dari berbagai sudut pandang untuk sebuah pembangunan yang berkwalitas.  Mengulang kembali syair Geraldy Tukan “Pai hama-hama Soga Naran Tanah Lembata, Pai ago soga hama-hama”. Di sana tak ada unsur  kewa weki”.......