Bota Bujak

Bota Bujak
Ataili, kampung kecil, unik, menyimpan banyak misteri. Kekayaan warisan budaya, adat istiadat didaur ulang sehingga menjadi ramuan yang berguna demi kehidupan bersama. Ola glekat lewotana adalah kewajiban setiap anak tanah. Kritik sosial penting untuk membangun kehidupan bersama yang lebih baik dalam era arus globalisasi. Tulis apa adanya, jangan menipu (bahasa lokal: akalbae).

April 26, 2013

PENDIDIKAN, KWODU DAN RASKIN

Nenek Moyang kami, orang Ataili tidak menikmati pendidikan resmi. Alam semesta mendidik mereka secara alami sebagaimana di daerah lain di seluruh Dunia. Pada zaman penjajahan Belanda mereka mengenal Sekolah Rakyat (SR). Satu-satunya sekolah SR hanya ada di Lewuka, sebuah kampung terdekat. Orang Ataili harus turun gunung menuju Lewuka demi mendapat pendidikan formal. Perjalanan cukup jauh sehingga mereka harus membawa bekal. Sekolah SR hanya tiga tahun sehingga selama tiga tahunn mereka harus menyelesaikan pendidikan. Mereka sangat pintar dalam hal menulis indah, membaca dan berhitung. Zaman penjajahan masyarakat sangat menderita. Banyak waktu dihabiskan untuk kerja paksa membuat jalan raya. Masyakat ditindas. Tak kesempatan untuk berladang. Panen selalu gagal karena curah hujan rendah dan banyak hama. Uang tak pernah mereka lihat.  Mereka tidak mengenal pakaian modern. Mereka hanya menghandalkan "kwodu", sarung terbuat dari tenunan buatan sendiri. Kwodu adalah andalan pakaian mereka. Kwodu dipakai setiap hari, pergi sekolah, ke ladang, ke hutan, tidur dan seterusnya melekat di badan. Kwodu buatan nenek moyang orang Ataili sangat kuat hanya jarang dicuci karena selalu melekat di badan.
Akhir tahun 1950an  orang Ataili pindah mulai pindah dan menikmati pendidikan sekolah dasar di Mulankera. Lumayan dari tahun ke Tahun orang Ataili enjoy menikmai pendidikan di sana meskipun harus berjalan 30-45 menit. Anak-anak cukup pintar. Tahun 1980an Orang Ataili membangun sekolahnya sendiri sehingga anak2 tidak harus berjalan setiap hari ke Mulankera. Ketika itu pendidikan mulai maju. Zaman semakin modern, kwodu ditinggalkan. Sejarah perpindahan dari satu tempat ke tempat lain, mencari nafkah untuk kehidupan, membiayai pendidikan anak sungguh sengsara. Tak ada sesuatupun yang bisa diharapkan dari pemerintah. Di mana-mana terlihat rakyat miskin. Sampai saat ini peperintah masih tetap mengirimkan beras raskin ke pelosok tanah air ini. Ini membuktikan bahwa betapa miskinnya rakyat Indonesia. Pemerintah seharusnya malu mengirimkan Raskin kepada masyarakatnya. Pemerintah justru senang mengirimkan Raskin sebagai ajang kampanye kepada masyarakat untuk melanggengkan posisinya sebagai pejabat negara. Kapan kita bebas dari Raskin?????

No comments:

Post a Comment