“Ewas”, dalam bahasa daerah
Ataili artinya bekas jalan orang lain. Zaman dulu, masyarakat pedesaan belum
memiliki jalan bagus seperti sekarang. Hampir semua ruas jalan penuh dengan rumput-rumput tinggi melebihi
tinggi manusia. Berjalan “dori ewas artinya berjalan mengikuti jejak orang”.
Akan lebih mudah karena telah dibuka orang
lain sedangkan berjalan “melawan ewas artinya berlawanan dengan bekas orang
lain”. Saya teringat ketika kami bersama teman-teman berangkat pagi-pagi dari Ataili menuju
Sekolah di Mulankera. Kami saling menunggu siapa yang akan duluan berjalan untuk
membuka ewas. Dia akan berjuang melawan rumput tinggi dan konsekuensinya adalah basah kuyub karena embun pagi. Jaringan Koruptor
membuat sistem “dori ewas”, mengikuti bekas jalan orang lain.
Betapa sulitnya memberantas koruptor di Indonesia. Semakin banyak
koruptor di tangkap semakin marak orang melakukan korupsi. Jaringan koruptor
paling gampang adalah “dori ewas”, Jadi meskipun pejabat diganti, korupsi akan
berjalan dengan mulus. Mereka tidak mungkin melawan ewas. Ada yang mengatakan “dia yang dulu juga korupsi
mengapa saya tidak”. Ini adalah prinsip dori ewas. Lalu kapan korupsi akan
berakhir? Saya pernah membaca sebuah
group Facebooker dengan judul “ayo ganyang koruptor di Lembata”. Ada yang memberi
komentar, Maling berteriak maling lalu siapa yang akan ditangkap?
Kita semua tahu, partai Demokrat mengklaim dirinya sebagai partai
melawas ewas artinya partai yang bersih dan membersihkan para koruptor, justru
Demokratlah yang membuat sensasi besar dalam soal korupsi. Satu-satunya
jalan adalah setiap pejabat mulai bergerak melawan ewas. Berat, sulit, harus
menjadi korban demi kebaikan dan kesejahteraan masyarakat banyak. Akankah
tercapai? Keputusan pada nurani setiap pejabat publik di negara ini.
Melakukan perubahan global mungkin terasa berat, tetapi baiklah kita
mulai bergerak pada lingkungan terkecil adalah Desa, tingkat kecamatan,
Kabupaten, lingkungan dinas pariwisata, dinas pendidikan, dll......
No comments:
Post a Comment