Zaman dulu di Ataili, secara turun temurun, kami
memakai “padu” untuk penerangan malam hari. Padu terbuat dari kemiri busuk, ditumbuk dengan kapas kemudian dililit
pada belahan bambu lalu jadikan lilin. Terpaksa dibuat dengan kemiri busuk
karena kamiri yang bagus akan dijual. Itulah cara penghematan ala orang
kampung. Minta ampun bauh busuk padu terbuat dari kemiri busuk sangat
menyengat. Hampir saya tak bisa makan karena mencium bauh kemiri busuk. Bagaimanapun
juga harus bertahan karena tak ada
penerangan lain. “Padu” juga dipakai
untuk memasang api di pekuburan. Khususnya tanggal 2 November lokasi pekuburan
penuh dengan api padu (pador). Kata “padu” dipakai sampai sekarang misalnya
“Kam mai pasang padu jae kubur” artinya kami pergi pasang lilin di kubur. Lilin
sebagai pengganti padu. Mereka tidak menyebut lilin tetapi padu karena
terbiasa. Sore-sore setelah pulang dari ladang, orang membuat padu persiapan
penerangan malam hari. Pador di selipkan pada tiang rumah yang agak tinggi
sehingga menerangi orang yang sedang makan.
Yesus berkata “jadilah terang dunia” atau dalam konteks orang Ataili
“jadilah pador sejati”. Pador menyala dan akan habis terbakar. Hidup memang
penuh pengorbanan. Pador setia menerangi semua orang. Menjadi pemimpin seharusnya
menjadi seperti “pador”. Rela menderita
terbakar untuk menerangi semua orang.
Betapa sulitnya memberi penerangan kepada masyarakat kecil di zaman
modern. Ini. Yang terjadi adalah penerangan-penerangan semu untuk mengelabui
mata masyarakat kecil. Penerangan-penerangan yang menguntungkan pribadi. Ini
kita kenal dalam kampanye-kampanye untuk merebut sebuah jabatan politis. Mereka bukanlah “pador sejati”. Mereka
mengunakan “padu wangi” untuk merayu masyarakat kecil kemudian menyembunyikan
di kamar untuk kepentingan diri sendiri. Terang yang tersembunyi tidak sesuai
dengan ajaran Yesus.
No comments:
Post a Comment