Bota Bujak

Bota Bujak
Ataili, kampung kecil, unik, menyimpan banyak misteri. Kekayaan warisan budaya, adat istiadat didaur ulang sehingga menjadi ramuan yang berguna demi kehidupan bersama. Ola glekat lewotana adalah kewajiban setiap anak tanah. Kritik sosial penting untuk membangun kehidupan bersama yang lebih baik dalam era arus globalisasi. Tulis apa adanya, jangan menipu (bahasa lokal: akalbae).

June 2, 2013

“LAKAR” TEMPAT KEADILAN ALAMI MENURUT TRADISI ORANG ATAILI


Malam ini, saya barusan kembali memberkati sebuah rumah  yang cukup jauh dari pusat paroki. Dalam perjalanan pulang, tiba-tiba ada seekor babi hutan menyeberang jalan. Babi itu lari dengan kencang dan hampir menabrak  sepeda motor. Ketika itu saya teringat tradisi berburu babi hutan  di kampung saya Ataili. Beberapa kali saya bersama kakek ikut dalam perburuan masal dalam bahasa daerah Ataili  disebut “Bati welok”.
Berapapun banyak binatang buruan yang didapat harus di bagi dengan adil. Tempat pembagian binatang buruan disebut “LAKAR”. Tak seorangpun berani menyembunyikan daging lebih untuk dia. Mereka berpegang teguh  pada kata-kata ini “Eka Rotan”.  Artinya binatang buruan yang didapat jika tidak dibagi dengan adil maka alam akan menghukumnya.  Kerap terjadi bahwa ketika orang tidak membagi dengan adil  maka ia akan mati digigit binatang hutan yang sama. Banyak orang telah menjadi korban keganasan babi hutan. Ini adalah hukum alam yang tidak bisa ditawar-tawar. Tradisi yang telah dikramatkan turun temurun. Oleh karena itu janganlah bermain-main dengan keadilan alam karena alam sendiri akan menghukumnya.
“Lakar” adalah tempat keadilan. Ada orang yang tugaskan secara khusus untuk membagi daging hasil buruan. Pembagian tanpa memandang apakah anak kecil atau orang besar bahkan anak dalam rahim ibu juga mendapat bagian yang sama. Ketua Lakar membuat upacara ritual sebelum pembagian dimulai. Menurut tradisi agar lakar itu tetap panas (lakar knating) dengan maksud bahwa ketika kita pergi berburu  (bati welok) kita akan mendapat lebih banyak lagi hasil buruan. 
“Lakar” adalah tempat perjamuan persaudaraan. Semua perserta yang ikut dalam perburuan/ “bati welok”, hadir di lakar dan makan bersama. Makanan yang dibuat secara tradisional namanya “slaut”.  Jenis masakan dalam bambu bersama dengan darah, hati, jantung dan semua isi perut hasil buruan.  Memang enak karena dimasak secara alami.  Slaut dibagi dengan adil.
Semua akan kembali ke rumah masing-masing tanpa beban. Mereka telah menikmati sebuah perjamuan persaudaraan dengan adil di “LAKAR”.  Masih adakah tradisi ini?


EKARISTI ADALAH PERJAMUAN PERSAUDARAAN


Meja perjamuan adalah tempat Yesus dikorbankan. Tempat di mana Yesus dipotong-potong dan dibagi-bagi dalam perjamuan ekaristi. Meja perjamuan adalah “lakar Allah” dan imam sebagai “ketua lakar”. Sang imam membuat ritual dan kemudian membagi-bagi dengan adil. Tidak semua orang bisa mengambil bagian dalam perjamuan, hanya mereka yang layak menerima sebagaimana di lakar hanya mereka yang ikut dalam perburuan. Yesus harus diburu dan jangan sampai kehilangan Yesus. Dia adalah tempat keselamatan kita. Dialah yang memberi hidup kepada semua orang. Yesus adalah keadilan Allah karena itu janganlah bermain-main dengan keadilan Allah. Siapa yang bermain-main dengan keadilan Allah akan mendapat hukuman.
Setiap hari imam mempersembahkan korban misa dan pada hari Minggu umat ikut ambil bagian dalam korban ekaristi. Setiap hari Minggu imam sebagai ketua lakar mengadakan ritual sehingga “lakar Allah tetap knating”. Semakin sering kita ikut ambil bagian dalam perjamuan “lakar Allah”, semakin layak kita memperoleh keselamatan yang datang dari Allah.






2 comments:

  1. betul skali...Tradisi yang telah dikramatkan turun temurun. Oleh karena itu janganlah bermain-main dengan keadilan alam karena alam sendiri akan menghukumnya. ....

    ReplyDelete
  2. betul sekali, salut padre,
    membaca tulisan2 di blog ini, seperti membawa saya kembali ke masa kecil, tradisi dan kearifan lokal yang kadang dianggap sepele, ternyata jika digali dan refleksikan kembali, sarat makna kehiduban, terlebih di jaman canggih seperti ini,
    teruslah menulis bloger Ataili, saya tau kampung itu menyimpan potensi para sastrawan dan penulis....
    salam sukses!

    ReplyDelete