Bota Bujak

Bota Bujak
Ataili, kampung kecil, unik, menyimpan banyak misteri. Kekayaan warisan budaya, adat istiadat didaur ulang sehingga menjadi ramuan yang berguna demi kehidupan bersama. Ola glekat lewotana adalah kewajiban setiap anak tanah. Kritik sosial penting untuk membangun kehidupan bersama yang lebih baik dalam era arus globalisasi. Tulis apa adanya, jangan menipu (bahasa lokal: akalbae).

June 4, 2013

“TUE IKA KOPEK, MUKU WULIR” MERUSAK TATANAN SOSIAL SUKU


Di Ataili, ada istilah adat “Tue Ika Kopek, Muku Wulir”. Jika diterjemakan lurus artinya memutarbalikan  ekor ikan dan tandan pisang. Apa arti yang sesungguhnya? Menurut adat orang Ataili, sistem kekrabatan suku telah diatur oleh nenek moyang secara  turun temurun. Tidak diketahui sejak kapan pembentukan sistem itu. Suku-suku diatur dengan baik bahwa  suku ini bisa menikah dengan suku  tertentu. Suku ini memanggil suku itu, opun dan sebaliknya pihak opun memanggilnya makin.
Dalam perjalanan waktu situasi berubah, pihak opun terbalik memanggil pihak makin menjadi opun karena perkawinan anak-anak dengan sistem kekrabatan terbalik. Hukum adat yang dikenakan karena memutarbalikkan sistem kekrabatan dengan nama “tue ika kopek, muku wulir”.  Berjalan pada posisi kesalahan satu orang mungkin saja masih dalam taraf normal. Persoalannya bahwa kesalahan ini seolah-olah dianggap sepele dan bukan kesalahan fatal maka orang lain juga mengikuti cara yang sama.  Saya memilih pasangan asal suka-sama suka dan tidak lagi menurut aturan sistem suku. Tua-tua adat terus menerus memberlakukan hukum “tue ika kopek, muku wulir”.  Jika hal ini dibiarkan, maka sistem kekrabatan suku-suku akan  sangat kacau. Sulit menentukan lagi siapa yang menjadi opun dan siapa yang menjadi makin. Pada suatu ketika suku-suku tidak berfungsi lagi dalam sistem tata aturan perkawinan.
Zaman makin modern sementara adat semakin melemah padahal adat istiadat, tata aturan hidup sosial sejak nenek moyang sangat bagus dan harmonis. Keharmonisan kehidupan bersama ditentukan juga oleh sistem kekrabatan suku-suku. Dengan demikian masing-masing orang menghormati dan menghargai sesama lain dengan memanggil opun dan makin. Panggilan opun dan makin memiliki nilai adat dan kehalusan panggilan sementara itu kita memutarbalikkan keadaan seluruh suku hanya karena kesalahan satu orang. Ya saya kira tidak sesuai. Oleh karena itu, hendaknya hati-hati dalam memilih pasangan. Harus tahu dimana “ikan, ayam yang sesungguhnya”, dan jangan tangkap milik orang lain. Saya berharap generasi mendatang tidak lagi memberlakukan hukum adat “tue ika kopek, muku wulir”.  Jika tidak, maka semakin hancurlah sistem kekrabatan suku-suku di Ataili. 

No comments:

Post a Comment